Mengapa Harus Takut Mati???

Kematian yang akan mengakhiri kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya suatu bukti nyata bahwa Allah Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan itu ada; dan Dia lah Yang Maha Esa, Maha Tunggal dan Yang Membangkitkan.

Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam al-Qur'anul Karim pada S. Ali 'Imran: 185;
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."

Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian. Hal ini secara tegas dikemukakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, S. An-Nisa: 78;
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."

Agama Islam memang menganjurkan untuk berobat apabila menderita sakit dan melakukan upaya-upaya jangan sampai terjangkit penyakit dengan menjaga kebersihan badan, tempat, dan lingkungan. Rasulullah Saw. juga banyak memberikan petunjuk dan arahan dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindari dari terjangkit penyakit, seperti sabda beliau:



"Apabila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu negeri, maka kalian jangan masuk ke negeri itu. Sebaliknya, apabila kalian berada di suatu negeri di mana terjadi wabah penyakit, maka kalian jangan keluar dari negeri itu (maksudnya jangan sampai menularkan penyakit)."

Namun demikian, kematian tetap akan mengejar kita, betapapun kesehatan yang kita usahakan berhasil. Namun demikian, kita memang tidak boleh menyerah kepada takdir tanpa ikhtiar. Seringkali kita melihat ada seseorang yang benar-benar kelihatan sehat bugar, tiba-tiba meninggal dunia. Jadi, kematian tetap akan menjumpai kita, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam S. Al-Jumu'ah: 8;
"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".

Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah al-Qur'an, orang yang mati disebut "Kembali kepada Sang Pencipta".
Kematian  oleh   sementara   ulama   didefinisikan   sebagai "ketiadaan  hidup,"  atau  "antonim  dari  hidup."  Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum  Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia  yang  fana  ini. Kehidupan  pertama  dialami  oleh  manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia,  sedang  kehidupan kedua  saat  ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat.
KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN
Secara   umum  dapat  dikatakan  bahwa  pembicaraan  tentang kematian bukan  sesuatu  yang  menyenangkan.  Namun  manusia bahkan  ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran  pun  melukiskan keinginan  sekelompok  manusia  untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil  merayu  Adam  dan Hawa   melalui   "pintu"   keinginan   untuk   hidup   kekal selama-lamanya.
     "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)
     dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120).
Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada  orang yang  enggan  mati  karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin  juga  karena  menduga bahwa  yang  dimiliki  sekarang  lebih  baik  dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit  dan  pedih  pengalaman  mati  dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir  memikirkan  dan  prihatin  terhadap keluarga  yang  ditinggalkan,  atau  karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
Dari   sini   lahir   pandangan-pandangan   optimistis   dan pesimistis terhadap  kematian  dan  kehidupan,  bahkan  dari kalangan para pemikir sekalipun.
Manusia,   melalui   nalar  dan  pengalamannya  tidak  mampu mengetahui hakikat kematian,  karena  itu  kematian  dinilai sebagai  salah  satu  gaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada  hakikatnya  kematian  merupakan  sesuatu  yang   tidak diketahui,   namun  setiap  menyaksikan  bagaimana  kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin  terdorong  untuk mengetahui  hakikatnya  atau,  paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika  ia  pun  pasti mengalami nasib yang sama.
Manusia  menyaksikan  bagaimana  kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak  pula  menangguhkan  kehadirannya  sampai terpenuhi  semua  keinginan.  Di  kalangan  sementara orang, kematian menimbulkan kecemasan,  apalagi  bagi  mereka  yang memandang  bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai  kehidupan ini  sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan  menghindari sedapat  mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas  tanpa kendali,  demi mewujudkan  eksistensi manusia.
Hubungan antara yang hidup dan  yang  telah  meninggal  amat berakar  pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut  oleh umat  manusia  dewasa  ini.  Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir  Kuno  misalnya,  meyakini  benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan  mayat-mayat  mereka  ratusan  bahkan ribuan tahun lamanya.
Konon  Socrates  pernah  berkata,  sebagaimana  dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),
     "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) 
    kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, 
    namun ketika aku menemukan kematian, 
    aku pun menemukan kehidupan abadi. 
    Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi)
    dan bergembira dengan kematian. 
    Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup."

Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan, semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa; sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."
 
Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  ini menginformasikan   tentang  kematian  yang  dapat  mengantar seorang mukmin agar  tidak  merasa  khawatir  menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.

Semoga kita semua dapat memaknai arti kematian itu bukan sebagai suatu ketakutan, namun sebagai sarana motivasi diri untuk dapat lebih meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Amiiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar